FILSAFAT ILMU
DISAMPAIKAN OLEH:
Drs. Dirham Latief, MM.
1. Pengertian Filsafat
a. Arti Filsafat Secara Etimologi
Kata filsafat dalam
bahasa Arab falsafah yang dalam
bahasa Ingris philosophy yang berasal
dari bahasa Yunani philosophia. Kata philosophia terdiri atas kata philein artinya cinta (love) dan sophia artinya kebijaksanaan (wisdom),
sehingga secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom) dalam arti yang
sedalam-dalamnya. Jadi seorang filsuf adalah pencinta atau pencari
kebijaksanaan.
b. Arti Filsafat secara terminologi
Secara terminologi pengertian filsafat yang
dirangkum dari pendapat beberapa ahli filsafat yaitu filsafat adalah ilmu ilmu
pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan
mempergunakan akal sampai pada hakikatnya. Filsafat tidak mempersoalkan tentang
gejala-gejala atau fenomena, tetapi mencari
hakikat dari suatu gejala atau fenomena.
2. Hakikat
Hakikat adalah suatu prinsip yang menyatakan
sesuatu adalah sesuatu itu. Filsafat adalah usaha untuk mengetahui segala
sesuatu. Ada (being) merupakan implikasi dasar. Jadi segala ssuatu yang
mempunyai kualitas tertentu pasti itu adalah being .
3. Tujuan Filsafat
Filsafat mempunyai
tujuan untuk membicarakan keberadaan yang membahas lapisan terakhir dari segala
sesuatu atau membahas masalah-masalah yang paling dasar. Tujuan filsafat adalah
mencari hakikat dari suatu objek/gejala secara mendalam. Adapun pada
pengetahuan empiris hanya membicarakan gejala-gejala Membicarakan gejala masuk
ke hakikat itulah dalam filsafat. Untuk sampai kepada hakikat haruslah melalui
metode yang khas dari filsafat.
4. Sifat/karakteristrik Filsafat
Filsafat harus memiliki sifat/karakteristik
sebagai berikut:
a. Refleksi, artinya manusia menangkap objeknya
secara intensional dan sebagai hasil dari proses intensional tersebut yaitu
keseluruhan nilai dan makna yang diungkapkan oleh manusia dari objek-objek yang
dihadapinya.
b. Radikal, radikal bersal dari kata radix (akar), jadi filsafat itu radikal
artinya filsafat harus mencari pengetahuan sedalam-dalamnya (sampai ke
akar-akarnya). Radikalisme pengertiannya adalah sejauh akal manusia mampu
menemukannya, sebab filsafat tidak membicarakan yang jelas berada di luar jangkauan
akal budi yang sehat. Filsafat tidak membatasi objeknya sebagaimana ilmu-ilmu
pengetahuan. Filsafat dikatakan radikal karena berusaha mencari hakikat dari
objek yang dibahas. Filsafat tidak berhenti pada pengetahuan periferis (kulit
atau penampakannya) tetapi filsafat ingin menembus sampai pada inti masalah
dengan mencari faktor-faktor yang fundamental yang membentuk adanya sesuatu.
c. Intergral, filsafat bersifat integral artinya
filsafat tersebut mempunyai kecenderungan untuk memperoleh pengetahuan yang
utuh sebagai suatu keseluruhan, filsafat ingin memandang objeknya secara
terintegral.
2.
Objek Filsafat
Objek adalah sesuatu
yang menjadi bahan dari suatu penyelidikan atau pembentukan pengetahuan. Setiap
ilmu pengetahuan pasti memiliki objek. Objek dapat dibedakan menjadi dua, sama
halnya dengan filsafat terdapat dua macam objeknya, yaitu objek material dan
objek formal.
a. Objek Material Filsafat
Objek material dari filsafat, yaitu:
1)
Bersifat
sangat umum, artinya persoalan kefilsafatan tidak terkait dengan objek-objek
khusus. Sebagian besar masalah kefilsafatan dengan ide-ide yang besar, misalnya
filsafat tidak menanyakan berapa harta yang anda sedekahkan dalam satu bulan,
akan tetapi filsafat menanyakan apa keadilan itu.
2)
Tidak
menyangkut fakta, persoalan filsafat lebih bersifat spekulatif.
Persoalan-persoalan yang dihadapi dapat melampaui pengetahuan ilmiah.
3)
Filsafat
menyangkut nilai-nilai (values),
artinya persoalan-persoalan kefilsafatan berkaitan dengan penilaian baik nilai
moral, estetis, agama, dan sosial. Nilai dalam pengertian ini adalah suatu
kualitas abstrak yang yang terdapat pada sesuatu hal.
4) Filsafat bersifat kritis, artinya filsafat merupakan analisis secara
kritis terhadap konsep-konsep dan arti-arti yang biasanya diterima dengan begitu
saja oleh suatu ilmu tanpa penyelidikan secara kritis.
5)
Filsafat bersifat sinoptik, artinya
persoalan filsafat mencakup struktur kenyataan secara keseluruhan. Filsafat
merupakan ilmu yang membuat susunan kenyataan sebagai suatu keseluruhan.
6)
Filsafat bersifat
implikatif, artinya jika sesuatu persoalan kefilsafatan telah dijawab, maka
dari jawaban tersebut akan memunculkan persoalan baru yang saling berhubungan.
Jawaban yang dikemukakan mengandung akibat-akibat lebih jauh yang menyentuh
kepentingan-kepentingan manusia.
b. Objek Formal Filsafat
Objek formal filsafat yaitu sudut pandang
yang menyeluruh, secara umum sehingga dapat menemukan hakikat dari objek
materialnya. Inilah yang membedakan antara filsafat dengan ilmu-ilmu lainnya
terletak dalam objek material dan objek formalnya. Kalau dalam ilmu-ilmu lain
objek materialnya membatasi diri sehingga pada filsafat tidak membatasi diri.
Adapun pada objek formalnya membahas objek materialnya itu sampai ke hakikat.
CIRI-CIRI
FILSAFAT
Ciri-ciri filsafat
yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Ciri berfilsafat, yaitu:
a. Menyeluruh; artinya pemikiran yang luas
karena tidak membatasi diri dan tidak hanya ditinjau dari satu sudut pandang
tertentu. Pemikiran kefilsafatan ingin mengetahui hubungan antara ilmu yang
satu dengan ilmu-ilmu lainnya, hubungan ilmu dengan moral, seni, dan tujuan
hidup.
b. Mendasar; artinya pemikiran yang dalam sampai
kepada hasil yang fundamental atau esensial objek yang dipelajarinya sehingga
dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai dan keilmuan. Filsafat tidak
hanya berhenti pada kulit-kulitnya (periferis)
saja, tetapi sampai menembus ke kedalamannya (hakikat).
c. Spekulatif; artinya hasil pemikiran yang
diperoleh dijadikan dasar bagi pemikiran selanjutnya. Hasil pemikiran
berfilsafat selalu dimaksudkan sebagai dasar untuk menelusuri bidang-bidang pengetahuan yang baru. Namun
demikian tidaklah berarti hasil pemikiran kefilsafatan tersebut meragukan
kebenarannya, karena tidak pernah ketuntasan.
Ciri-ciri berpikir secara kefilsafatan menurut
Ali Mudhofir adalah sebagai berikut:
a. Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara
radikal. Radikal berasal dari bahasa Yunani, Radix artinya akar. Berpikir secara radikal adalah berpikir sampai
ke akar-akarnya, berpikir sampai kepada hakikat, esensi atau sampai ke
substansi yang dipikirkan. Manusia yang berfilsafat dengan akalnya berusaha
untuk menangkap pengetahuan hakiki, yaitu pengetahuan yang mendasari segala
pengetahuan indrawi.
b. Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara
universal (umum). Berpikir secara universal adalah berpikir tentang hal-hal
serta proses-proses yang bersifat umum, dalam arti tidak memikirkan hal-hal
yang parsial. Filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum dari umat manusia.
Dengan jalan penelusuran yang radikal itu filsafat berusaha sampai pada
berbagai kesimpulan yang universal (umum)
c. Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara
konseptual. Konsep di sini adalah hasil generalisasi dari pengalaman tentang
ha-hal serta proses-proses individual. Dengan ciri yang konseptual ini,
berpikir secara kefilsafatan melampaui batas pengalaman hidup sehari-hari.
d. Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara
koheren dan konsisten. Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir
(logis). Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
e. Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara
sistematik. Sistematik berasala dari kata sistem. Sisten di sini adalah
kebulatan dari sejumlah unsur yang saling berhubungan menurut tata pengaturan
untuk mencapai sesuatu maksud atau menunaikan sesuatu peranan t5ertentu. Dalam
mengemukakan jawaban terhadap sesuatu
masalah. Pendapat-pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan harus saling berhubungan
secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
f. Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara
konperehensif. Konperehensif adalah mencakup secara menyeluruh. Berpikir secara
kefilsafatan. Berpikir secara kefilsafatan berusaaha untuk menjelaskan alam
semesta secara keseluruhan.
g. Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara
bebas. Sampai batas-batas yang luas makasetiap filsafat boleh dikatakan
merupakan suatu hasil dari pemikiran yang bebas. Bebas dari segala prasangka
sosial, historis, kultural ataupun religius.
h. Berpikir secara kefilsafatan dicirikan dengan
pemikiran yang bertanggungjawab. Seseorang yang berfilsafat adalah orang yang
berpikir sambil bertanggungjawab. Pertanggungjawaban yang pertama adalah
terhadap hati nuraninya sendiri. Di sini tampaklah hubungan antara kebebasan
berpikir dalam filsafat dengan etika yang melandasinya. Fase berikutnya adalah
cara bagaimana ia merumuskan berbagai pemikirannya agar dapat dikomunikasikan
pada orang lain.
CABANG-CABANG FILSAFAT
Secara umum filsafat
dibagi dalam 2 kelompok yaitu: fisafat sistematis dan sejarah filsafat.
Filsafat sistematis bertujuan memberikan dan membentuk landasan pemikiran
filsafat. Filsafat sistematis membicarakan tentang: logika, metodologi,
epistemologi, filsafat ilmu, etika, estetika, metafisika, filsafat ketuhanan
(teologi), filsafat manusia dan kelompok filsafat khusus seperti filsafat
sejarah, filsafat hukum, filsafat komunikasi, dan lain-lain. Sejarah filsafat
adalah bagian yang berusaha meninjau pemikiran filsafat di sepanjang masa yang
meliputi sejarah filsafat Yunani (Barat), India, Cina dan sejarah filsafat
Islam.
Cabang-cabang
filsafat menurut para ahli filsafat, terdiri dari:
Logika; adalah
cabang filsafat yang menyelidiki tentang lurus-tidaknya pemikiran kita
(manusia). Bidang kajian logika adalah azas-azas yang menentukan pemikiran yang
lurus, tepat dan sehat. Mempelajari logika diharapkan dapat menerapkan asas
bernalar sehingga dapat menarik kesimpulan dengan tepat. Persoalan-persoalan
logika antara lain apa yang dimaksud dengan pengertian? Apa yang dimaksud
dengan penyimpulan?, apa aturan-aturan
untuk dapat menyimpulkan secara lurus, sebutkan pembagian silogisme?, sebutkan
pembagian sesat pikir!
Epistemologi; adalah bagian filsafat yang membicarakan
tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan,
batas-batas, sifat, metode dan kesahihan pengetahuan. Adapun filsafat ilmu
mempelajari tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara bagaimana
mendapatkannya. Dengan belajar epistemologi dan filsafat ilmu manusia dapat
membedakan antara pengetahuan dan ilmu serta mengetahui dan menggunakan metode
yang tepat dalam memperoleh suatu ilmu serta mengetahui kebenaran suatu ilmu
tersebut ditinjau dari isinya. Bidang kajian epistemologi antara lain adalah
bagaimana manusia mengetahui sesuatu?, dari mana pengetahuan itu dapat
diperoleh?, bagaimana validitas pengetahuan itu dapat dinilai? Apa perbedaan
antara pengetahuan a priori dengan pengetahuan a posteriori?
Etika; adalah cabang filsafat yang
mengkaji tentang tingkah laku atau perbuatan manusia mengenai baik-buruk. Dengan belajar etika, manusia
dapat membedakan istilah yang sering muncul seperti etika, norma, dan mral,
dapat pula mengetahui dan memahami tingkah laku apa yang baik menurut
teori-teori tertentu, dan sikap yang baik sesuatu dengan kaidah-kaidah etika.
Perbuatan yang dilakukan secara sadar dan bebas. Objek formal etika adalah
kebaikan dan keburukan atau bermoral atau tidak bermoral dari tingkah laku
tersebut. Persoalan-persoalan dalam etika antara lain apa yang dimaksud dengan
“baik” atau “buruk” secara moral?, apa syarat-syarat sesuatu perbuatan
dikatakan baik secara moral?, bagaimana hubungan antara kebebasan kehendak
dengan perbuatan susila?, apa yang dimaksud dengan kesadaran moral?, bagaimana
peranan hati nurani dalam setiap perbuatan manusia?
Estetika; adalah filsafat yang mengkaji tentang
keindahan. Objek dari estetika adalah pengalaman akan keindahan. Dengan
mempelajari estetika manusia dapat membedakan antara estetika filsafati dengan
estetika ilmish, berbagai teori keindahan, pengertian seni, penggolongan seni,
nilai seni, aliran dalam seni, dan teori penciptaan dalam seni. Peresoalan
estetis di antaranya adalah apakah keindahan itu? Keindahan bersifat objektif
ataukah subjektif? Apa yang merupakan ukuran keindahan? Apa peranan keindahan
dalam hidup manusia? Bagaimana hubungan keindahan dengan kebenaran?
Metafisika; adalah cabang filsafat yang mengkaji tentang
yang ada.Metafisika membicarakan sesuatu di balik yang nampak. Dengan
mempelajari metafisika manusia justru akan mengenal Tuhannya dan mengetahui
berbagai macam aliran yang ada dalam metafisika. Persoalan-persoalan metafisis
dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) persoalan ontologi, (2) persoalan kosmologi,
dan (3) persoalan antropologi. Persoalan ontologis di antaranya adalah apa yang
dimaksud dengan ada, kebenaran, atau eksistensi itu? Bagaimanakah penggolongan
dari ada, keberadaan atau eksistensi? Apa sifat dasar kenyataan atau
keberadaan? Persoalan kosmologis berkaitan dengan asal mula, perkembangan dan
struktur atau susunan alam, misalnya jenis keteraturan apa yang ada dalam alam?
Persoalan antropologi (manusia) seperti bagaimana terjadi hubungan badan dan
jiwa? Apa yang dimaksud dengan kesadaran? Manusia sebagai makhluk bebas atau
tidak bebas?
FILSAFAT PENGETAHUAN (EPISTEMOLOGI)
Pengertian epistemologi
Epistemologi dari kata Yunani episteme dan logos. Episteme biasa diartikan sebagai pengetahuan atau kebenaran
dan logos diartikan sebagai pikiran,
kata, atau teori. Epistemologi, secara etimologi dapat diartikan sebagai teori
pengetahuan yang benar dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam
bahasa Inggris disebut sebagai theory of
knowledge.
Istilah-istilah lain yang sama maksudnya deengan epistemologi dalam
berbagai literatur filsafat kadang-kadang disebut juga logika material, criteriology, kritika pengetahuan, gnosiology dan dalam bahasa Indonesia lazim dipergunakan
istilah Filsafat Pengetahuan.
Adapun maksud dari adanya pengertian epistemologi adalah untuk
membedakan antara dua cabang filsafat, yaitu epistemologi dan ontologi
(metafisika umum). Kalau dalam metafisika pertanyaan pokoknya adalah apakah hal
yang ada itu? sedangkan dalam epistemologi pertanyaan dasarnya adalah apakah yang
dapat diketahui?
Logika Material
Jika logika formal berkaitan dengan
bentuk-bentuk pemikiran, sedangkan logika material berkaitan dengan isi
pemikiran. Dengan kata lain apabila logika formal yang bisa disebut logika,
begitu saja berusaha untuk mengkaji dan menetapkan bentuk pemikiran yang masuk
akal, maka logika material berusaha untuk menetapkan kebenaran dari suatu
pemikiran ditinjau dari segi isinya. Dapat dikatakan bahwa logika formal
berkaitan dengan masalah kebenaran formal yang sering kali disebut keabsahan
(jalan) pemikiran. Adapun logika material berkaitan dengan kebenaran materiil,
yang juga biasa disebut kebenaran autentik atau otentisitas isi pemikiran.
Kriteriologia
Istilah kriteriologia
berasal dari kata kriterium yang berarti ukuran. Dalam hal ini yang dimaksud
adalah ukuran untuk menetapkan benar tidaknya suatu pikiran atau pengetahuan
tertentu. Dengan demikian kriteriologia merupakan suatu cabang filsafat yang
berusaha untuk menetapkan benar tidaknya suatu pikiran atau pengetahuan berdasarkan
ukuran tentang kebenaran.
Kritika Pengetahuan
Istilah kritika pengetahuan ada kaitannya
dengan istilah kriteriologia. Kritika adalah sejenis usaha manusia untuk
menetapkan apakah sesuatu pikiran atau pengetahuan manusia sudah benar atau
tidak benar dengan jalan meninjaunya secara mendalam. Dapat disimpulkan bahwa
kritika pengetahuan mengarah pada suatu ilmu pengetahuan yang berdasarkan
tinjauan secara mendalam berusaha menentukan benar tidaknya sesuatu pikiran
atau pengetahuan manusia.
Gnoseologia
Istilag gnoseologia berasal dari kata gnosis artinya pengetahuan yang bersifat
keahlian dan logos artinya ilmu
pengetahuan. Dengan demikian gnoseologia berarti
ilmu pengetahuan atau cabang filsafat yang berusaha untuk memperoleh
pengetahuan mengenai hakikat pengetahuan khususnya mengenai pengetahuan yang
bersipat keilahian
Filsafat Pengetahuan
Filsafat pengetahuan adalah salah saatu
cabang filsafat yang mengkaji masalah hakikat pengetahuan, yaitu ilmu
pengetahuan kefilsafatan secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang
hakikat pengetahuan.
ARTI PENGETAHUAN
Pengetahuan adalah
suatu istilah yang dipergunakan untuk menuturkan apabila seseorang mengenal
tentang sesuatu. Suatu hal yang menjadi pengetahuannya adalah selalu terdiri
atas unsur yang mengetahui dan diketahui serta kesadaran mengenai hal yang
ingin diketahuinya itu. Oleh karena itu, pengetahuan selalu menuntut adanya
subjek yang memiliki kesadaran untuk mengetahui tentang sesuatu dan objek yang
merupakan sesuatu yang dihadapinya sebagai hal yang ingin diketahuinya. Jadi
pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu atau segala perbuatan
manusia untuk memahami suatu objek yang dihadapinya, atau hasil usaha manusia
untuk memahami suatu objek tertentu.
Ada delapan hal penting
yang berfungsi membentuk struktur pikiran manusia, yaitu sebagai berikut:
a. Mengamati
(observes) pemikiran berperan
dalam mengamati objek-objek. Dalam pengamatan objek, pikiran harus mengandung
kesadaran. Pikiran merupakan bentuk kesadaran. Kesadaran adalah suatu fungsi
pikiran. Pada kesdaran jiwa terdapat dua unsur penting yaitu kesadaran untuk
mengetahui sesuatu dan penampakan suatu objek, ini merupakan unsur yang hakiki
dalam pengetahuan intuisi yang selalu hadir dalam kesadaran. Pengamatan timbul dari ketertarikan pada objek.
b.
Menyelidiki (inquires) keterkatikan pada objek dikondisikan oleh
jkenis-jenis objek yang tampil. Tenggang waktu atau durasi minat seseorang pada
objek itu sangat tergantung pada daya tariknya. Kehadiran dan durasi suatu
minat biasanya bersaing dengan minat lainnya sehingga paling tidak seseorang
memiliki banyak minat pada perhatian yang terarah. Minat-minat ini ada dalam
banyak cara. Ada yang dikaitkan dengan kepentingan jasmaniah, permintaan
lingkungan, tuntutan masyarakat, tujuan-tujuan pribadi, konsepsi diri, rasa
tanggungjawab, rasa kebebasan bertindak, dan lain-lain. Minat terhadap objek
cenderung melibatkan komitmen, kadangkala komitmen ini hanya merupakan
kelanjutan atau menyertai pengamatan terhadap objek. Minatlah yang membimbing
seseorang secara alamiah untuk terlibat ke dalam pemahaman pada objek-objek.
c. Percaya
(believes) suatu objek
yang muncul dalam kesadaran, objek-objek itu diterima sebagai objek yang
mewujud. Katan percaya biasanya dilawankan dengan keraguan. Sikap menerima
sesuatu yang mewujud sebagai pengertian yang memadai setelah keraguan,
dinamakan kepercayaan.
===========================================================================
Filsafat ilmu
Dari Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas
Filsafat ilmu adalah merupakan
bagian dari filsafat yang menjawab
beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu[1]. Bidang ini mempelajari
dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya
antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu sangat berkaitan
erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha
untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep
dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut
dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan
alam melalui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah informasi;
formulasi dan penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran yang dapat
digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah
terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
Daftar isi
Ilmu berusaha menjelaskan
tentang apa dan bagaimana alam sebenarnya dan bagaimana teori ilmu pengetahuan
dapat menjelaskan fenomena yang terjadi di alam. Untuk tujuan ini, ilmu
menggunakan bukti dari eksperimen, deduksi logis serta pemikiran rasional untuk
mengamati alam dan individual di dalam suatu masyarakat.
Salah satu konsep mendasar tentang filsafat
ilmu adalah empirisme, atau ketergantungan pada
bukti. Empirisme adalah cara pandang bahwa ilmu pengetahuan diturunkan dari
pengalaman yang kita alami selama hidup kita. Di sini, pernyataan ilmiah berarti
harus berdasarkan dari pengamatan atau pengalaman. Hipotesa ilmiah dikembangkan
dan diuji dengan metode empiris, melalui berbagai pengamatan dan
eksperimentasi. Setelah pengamatan dan eksperimentasi ini dapat selalu diulang
dan mendapatkan hasil yang konsisten, hasil ini dapat dianggap sebagai bukti
yang dapat digunakan untuk mengembangkan teori-teori yang bertujuan untuk
menjelaskan fenomena alam.
Salah satu cara yang digunakan untuk
membedakan antara ilmu dan bukan ilmu adalah konsep falsifiabilitas. Konsep ini
digagas oleh Karl
Popper pada
tahun 1919-20 dan kemudian dikembangkan lagi pada tahun 1960-an. Prinsip dasar dari
konsep ini adalah, sebuah pernyataan ilmiah harus memiliki metode yang jelas
yang dapat digunakan untuk membantah atau menguji teori tersebut. Misalkan
dengan mendefinisikan kejadian atau fenomena apa yang tidak mungkin terjadi
jika pernyataan ilmiah tersebut memang benar.
=========================================================
KEGUNAAN DAN TUJUAN FILSAFAT DALAM KEHIDUPAN SECARA PRAKTIS
I.
Latar Belakang
Ada
yang memandang filsafat sebagai sumber segala kebenaran yang mengharapkan dari
filsafat kebahagiaan hakiki dan jawaban atas segala pertanyaan-pertanyaan.
Akan tetapi ada pula yang menganggap bahwa filsafat tidak lain dari pada “Obrolan Belaka”, ”Omong Kosong” yang sama sekali tak ada artinya bagi kehidupan sehari-hari. Yang meragukan banyak orang ialah banyaknya pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ahli, pendapat-pendapat dan aliran-aliran yang sering banyak bertentangan satu sama lain. Inilah sebabnya pengantar filsafat yang melulu melalui “Historis” itu biasanya menimbulkan banyak salah paham dan mengecewakan. Dari uarian diatas jelaslah bahwa betapa besar kepentingan filasafat bagi perwujudan dan pembangunan hidup kita dan harus kita akui tentang terbatasnya kemampuanan budi manusia dalam usahanya untuk memecahkan soal-soal tentang “Ada”, tentang manusia dan dunia ,tentang hidup dan Tuhan.
Akan tetapi ada pula yang menganggap bahwa filsafat tidak lain dari pada “Obrolan Belaka”, ”Omong Kosong” yang sama sekali tak ada artinya bagi kehidupan sehari-hari. Yang meragukan banyak orang ialah banyaknya pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ahli, pendapat-pendapat dan aliran-aliran yang sering banyak bertentangan satu sama lain. Inilah sebabnya pengantar filsafat yang melulu melalui “Historis” itu biasanya menimbulkan banyak salah paham dan mengecewakan. Dari uarian diatas jelaslah bahwa betapa besar kepentingan filasafat bagi perwujudan dan pembangunan hidup kita dan harus kita akui tentang terbatasnya kemampuanan budi manusia dalam usahanya untuk memecahkan soal-soal tentang “Ada”, tentang manusia dan dunia ,tentang hidup dan Tuhan.
Oleh
karena itu sangatlah penting untuk mengetahui kegunaan dan tujuan filsafat,
khususnya secara praktis.
II.
Pembahasan
A.
Pengertian Filsafat
Memberikan
definisi filsafat bukan perkara mudah. Tiap filosof mempunyai definisi
masing-masing tentang filsafat. Perbedaan itu disebabkan oleh perbedaan
konotasi filsafat, pengaruh lingkungan dan pandangan hidup yang berbeda dari filosof
itu sendiri. Berikut definisi filsafat dari berbagai filosof.
Plato
“Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli”.
Aristoteles
“Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di
dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan
estetika”.
Al
Farabi :Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud bagaimana
hakekatnya yang sebenarnya”.
Mempelajari
filsafat bisa membeningkan cara pandang, dimulai dengan pengakuan akan
kebebalan seperti dikemukakan Socrates “saya tahu bahwa saya tidak tahu
apa-apa”. Lewat kesadaran inilah kemudian kita berusaha untuk memahami
kata-kata, memahami kembali peristiwa-peristiwa dan kebiasaan-kebiasaan yang
sudah dianggap lazim. Pengakuan akan kebebalan secara otomatis akan menggiring
kita kepada kesadaran cinta pada kearifan.
Siapa
pun yang yang dengan perhatian secara terbuka tanpa prasangka dalam melihat
segala sesuatu akan mengalami kemunculan rasa heran. Rasa heran menyebabkan
orang tersentak bangun dan mulai memeriksa kembali apa yang sebelumnya dianggap
biasa-biasa saja. Rasa heran itu kemudian melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang
diikuti dengan usaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul sehingga
mengetahui dan memahaminya.
Tetapi
apakah setelah mengetahui dan memahami maka rasa heran akan menjadi musnah.
Dalam kegiatan bertanya-tanya rasa heran terus memuncak-muncak. Setiap dapat
satu jawaban, jawaban itu menjadi objek rasa heran yang baru.
Mempelajari
filsafat bisa mengeluarkan manusia dari rutinitas yang membosankan menuju
rutinitas yang mengasyikkan. Rutinitas adalah jebakan kebiasaan. Dengan
rutinitas manusia melewatkan segala kejadian dengan biasa-biasa saja. Namun
begitu kita mau berhenti sejenak untuk memperhatikan gejala-gejala benda-benda
dan diri orang lain, kita akan menemukan sesuatu yang aneh. Dan mulai mencari
jawaban atas keanehan tersebut.
B.
Pendapat Filosof Tentang Kegunaan
dan Tujuan Filsafat
1.
Plato. Beliau berpendapat bahwa
“berpikir dan memikirkan itu sebagai suatu nikmat yang luar biasa sehingga
filsafat diberi predikat sebagai keinginan yang maha berharga”.
2.
Maurice Marleau Ponty, Beliau
berpendapat bahwa “Jasa dari filsafat baru ialah terletak dalam sumber
penyelidikannya, sumber itu adalah eksistensi dan dengan sumber itu kita bisa
berpikir tentang manusia”.
3.
Alfred North Whitehead. Beliau
berpendapat bahwa “filsafat itu adalah keinsyafan dan pandangan jauh kedepan
dan suatu kesadaran akan hidup pendeknya, kesadaran akan kepentingan yang
memberi semangat seluruh usaha peradaban”.
C.
Kegunaan dan Tujuan Filsafat Secara
Praktis
Daya
upaya manusia untuk memikirkan seluruh kenyataan dengan sedalam-dalamnya itu
tak dapat tiada pasti berpengaruh atas kehidupannya. Hingga dengan sendirinya
bagian filsafat yang teoritis akan bermuara pada kehendak dan perbuatan yang
praktis. Seseorang menginginkan pengertian agar dapat berbuat menurut
pengetahuan yang kita peroleh itu.
Perbedaan
pendapat antara orang yang berfilsafat dan orang yang tidak berfilsafat boleh
dikatakan terletak dalam sikap mereka terhadap hidup manusia. “ Hidup’’ disini
meliputi segala sesuatu yang dialami dan dirasakan manusia dalam dirinya
sendiri sekaligus yang dirasakan, dialami atau diderita pula oleh orang lain.
Filsafat mengajarkan kita hidup lebih sadar dan bijak, Memberikan pandangan
tentang manusia dan hidupnya yang menerobos sampai inti sarinya, Sehingga kita
dengan lebih tegas dapat melihat baik keunggulannya, kebesaranya maupun
kelemahannya dan keterbatasannya.dari pengetahuan ini dapatlah kita peroleh
perhatian bagi sifat kepribadian yang menyendirikan setiap orang. Dan hati kita
terbuka buat “Rahasia” yang menjelma dalam setiap perseorangan yang akhirnya
berarti hati kita tetbuka bagi sumber segala rahasia ialah Tuhan.
Seorang
yang bijaksana akan memiliki kemugkinan yang paling tepat dalam usahanya
mencapai “Kesejahteraan hidup” karena ia mempunyai wawasan yang tepat dan
mendalam. Dia berusaha mengerti apa artinya hidup dan dirinya dengan segala
maslah yang muncul dan yang ia hadapi. Disamping itu filsafat memberikan
petunjuk dengan metode pemikiran reflektif dan penelitian penalaran supaya kita
dapat menyerasikan antara logika,Rasa,Rasio, pengalaman dan agama didalam usaha
manusia mencapai pemenuhan kebutuhannya dalam usaha yang lebih lanjut yaitu
“mencapai hidu yang sejahtera”.
Dalam
hal ini manusia tidak dengan begitu saja menceburkan diri kedalam salah satu
perbuatan atau situasi, karena ia selalu sadar, bahwa ia berbuat tentang suatu
atau tidak berbuat tentang suatu itu. Disini peranan filsafat ialah secara
kritis menyerasikan kehidupan manusia, sehingga tampak hidup manusia serta arah
yang mendasarinya didalam usaha mereka mencapai kesejahteraan hidup tadi.
D.
Kegunaan dan Tujuan Filsafat Secara
Umum
1.
Dengan berfilsafat kita lebih
menjadi manusia lebih mendidik dan membangun diri sendiri. Sifat yang khusus
bagi seorang filsuf ialah bahwa sesadar-sadarnya apa saja yang termasuk dalam
kehidupan manusia, Tetapi dalam pada itu juga mengatasi dunia itu, Sanggup
melepaskan diri, menjauhkan diri sebentar dari keramaian hidup dan
kepentingan-kepentingan subyektif untuk menjadikan hidupnya sendiri itu obyek
peyelidikannya. Dan justru kepentingan-kepentingan dan keinginan-keinginan
subyektif itu maka ia mencapai keobyektifan dan kebebasan hati, Yang perlu buat
pengetahuan dan penilaian yang obyektif dan benar tentang manusia dan dunia.
Dan sifat ini, sifat mengatasi kesubyektifan belaka, Sifat melepaskan
kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan sendiri,
2.
Berusaha mempertahankan sikap yang
obyektif mengenai intisari dan sifat-sifat objek-objek itu sendiri. Bila
seseorang semakin pantas di sebut “berkepribadian”, semakin mendekati
kesempurnaan kemanusiaan, Semakin memiliki “kebijaksanaan”.
3.
Mengajar dan melatih kita memandang
dengan luas dan menyembuhkan kita dari sifat Akuisme dan Aku sentrimisme. Ini
berhubungan erat pula dengan “Spesialisasi” dalam ilmu pengetahuan yang
membatasi lapangan penyelidikan orang sampai satu aspek tertentu dari pada
keseluruhan itu. Hal inilah dalam ilmu pengetahuan memang perlu akan tetapi
sering membawa kita kepada kepicikan dalam pandangan, Sehingga melupakan apa
saja yang tidak termasuk lapangan penyelidikan itu sendiri, Sifat ini sangat
merugikan perkembangan manusia sebagai keutuhan maka obatnya yang paling manjur
ialah “pelajaran filsafat”
4.
Agar menjadi orang yang dapat
berpikir sendiri.
Dengan latihan akal yang di berikan dalam filsafat kita harus menjadi orang yang sungguh-sungguh “berdiri sendiri” / mandiri terutama dalam lapangan kerohanian, mempunyai pendapat sendiri. Jika perlu dapat dipertahankan pula menyempurnakan ara kita berpikir, hingga dapat bersikap kritis, melainkan mencari kebenaran dalam apa yang dikatakan orang baik dalam buku-buku maupun dalam surat – surat kabar dan lain –lain
Dengan latihan akal yang di berikan dalam filsafat kita harus menjadi orang yang sungguh-sungguh “berdiri sendiri” / mandiri terutama dalam lapangan kerohanian, mempunyai pendapat sendiri. Jika perlu dapat dipertahankan pula menyempurnakan ara kita berpikir, hingga dapat bersikap kritis, melainkan mencari kebenaran dalam apa yang dikatakan orang baik dalam buku-buku maupun dalam surat – surat kabar dan lain –lain
III.
Kesimpulan
Filsafat
dan mempelajari filsafat sangat penting untuk mengukur suatu kebenaran,dan
penghayatan akan kebenaran dalam kehidupan manusia. Cuma manusia yang bisa
berpikir dan bersama filsafat kemudian kita dihadapkan pada kedalaman akan arti
realitas, Relitas kenyataan, realitas fungsi, Jika dikatakan bahwa filsafat
bagian eksistensial kesadaran manusia maka filsafat selalu diuji untuk menjawab
persoalan kehidupan manusia baik itu praktis kehidupan sehari-hari dan memberi
penjelasan praktis dan tentu saja akan mengarah pada hakikat sesuatu.
Dalam
pengkajian suatu pengetahuan akan dicari fungsi praktisnya, Pembahasan tentang
pengetahuan filsafat sangat luas dan memiliki bagian utama pembahasan,misal
tentang ontologi, epistemologi, Etika, Estetika, Filsafat juga masuk ke wilayah
yang lebih khusus misal filsafat manusia, filsafat politik, filsfat agama,
filsafat social, filsafat administrasi, filsafat teknologi. Segala yang melatarbelakangi
tindakan manusia tentu ada system pemikiran, logika pemikiran, dan keyakinan
akan pemikiran yang mendorong pada tindakan praktis, misal melakukan ritus
agama, ikut aktivitas politik, memilih pekerjaan, berbisnis, memlih pasangan
hidup. Dalam kehidupan praktis kita juga menemukan sesuatu yang negatif misal
perang, pembunuhan manusia, perusakan alam. Tentu semua memliki system
pemikiran. Tugas filsafat tentu memikirkan semua tindakan manusia, fenomena
alam, kemudian mendialogkan dengan akal sehat, merefleksikan pikiran secara
intensif dan ekstensif, Lalu apa ukuran dari kebenaran suatu tindakan? Lalu
apakah ada kearifan dalam tindakan itu? Misal juga kenapa orang beragama dan
mengapa orang bertindak atas nama doktrin agama? Apa fungsi Negara bagi
kesadaran manusia? Apa dampak negative teknologi pada kehidupan praktis
manusia? Kenapa indeks pembangunaan manusia suatu Negara status kualitas
rendah? Kenapa biaya rumah sakit mahal? Kenapa biaya pendidikan mahal? Kenapa
lembaga pedidikan seperti penjara? Semua pemkiran ilmu memiliki dasar
kegelisahan atau rumusan masalah yang tentu saja berasal dari realitas,
Pemikiran filsafat pun adalah analisa dan refleksi dari realitas hidup, karena
filsafat adalah bagian hidup manusia, Sehingga bicara fungsi filsafat sebagai
alat bantu memahami hidup praktis sungguh penting.
SUMBER
: http://pemudayangberani.blogspot.com/2012/01/kegunaan-dan-tujuan-filsafat-dalam.html
makalah
filsafat tentang tiga masalah utama dalam filsafat
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan zaman berlangsung begitu cepat. Masyarakat berjalan secara dinamis
mengiringi perkembangan zaman tersebut. Seiring dengan hal itu, filsafat
sebagai suatu kajian ilmu juga berkembang dan melahirkan tiga dimensi utama
sekaligus sebagai obyek kajiannya. Ketiga dimensi utama filsafat ilmu ini
adalah ontologi (apa yang menjadi obyek suatu ilmu), epistemologi (cara
mendapatkan ilmu), dan aksiologi (untuk apa ilmu tersebut). Ontologi merupakan
hakikat yang ada, yang merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai
kenyataan dan kebenaran. Epistemologi adalah sarana, sumber, tata cara untuk
menggunakannya dengan langkah-langkah progresinya menuju pengetahuan (ilmiah).
Adapun aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolok ukur kebenaran (ilmiah),
etik, dan moral sebagai dasar normatif dalam penelitian dan penggalian, serta
penerapan ilmu. Adapun ruang
lingkup filsafat ilmu meliputi:
Ø komparasi
kritis sejarah perkembangan ilmu;
Ø sifat dasar
ilmu pengetahuan;
Ø metode ilmiah;
Ø anggapan-anggapan
ilmiah;
Ø sikap etis
dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Filsafat bertugas memberi landasan filosofik untuk memahami berbagai konsep dan
teori suatu disiplin ilmiah.[1]
Secara substantif fungsi pengembangan tersebut memperoleh pembekalan dari
disiplin ilmu masing- masing, agar dapat menampilkan teori substantif.
Selanjutnya, secara teknis diharapkan dengan dibantu metodologi, pengembangan
ilmu dapat mengopera- sionalkan pengembangan konsep tesis, dan teori ilmiah
dari disiplin ilmu masing- masing.
B.
Rumusan Masalah
Di dalam Makalah ini mengupas tentang :
Ø pengertian
ontologi dan apa yang dibahas di dalamnya
Ø pengertian
epistemologi dan masalah-masalah yang ada di dalamnya
Ø pengertian
aksiologi serta masalah-masalah didalamnya.
C.
Tujuan
penulisan makalah ini antara lain:
Ø mengkaji secara
mendalam berbagai pengertian ontologi ilmu.
Ø mengkaji
ontologi sebagai dasar pemikiran filsafat.
Ø mengkaji
persoalan epistemologi.
Ø mengkaji kaitan
epistemologi dan cara memperoleh kebenaran/ilmu.
Ø mengkaji
epistemologi sebagai kunci pengembangan ilmu.
Ø mengkaji pengertian aksiologi.
BAB II
PEMBAHASAN
Tiga (3) Masalah Utama Dalam Filsafat
Seperti yang telah dikemukakan terdahulu bahwa filsafat berfikir
radikal,sistematis, dan universal tentang sesuatu. Jadi, yang menjadi obyek
pemikiran filsafat adalah segala sesuatu yang ada. Segala yang ada merupakan
bahan pemikiran filsafat karena, filsafat merupak usaha berfikir manusia secara
sistematis. Disini kita perlu mensistematiskan segala sesuatu yang ada.
Al-Syaibany mendefenisikan filsafat sebagai usaha mencari yang hak dan mengenai
kebenaran, atau usaha untuk mengetahui sesuatu yang berwujud, atau usaha untuk
mengetahui tentang nilai segala sesuatu yang mengelilingi manusia dalam alam
semesta.[2]
Filsafat membahas yaitu masalah wujud, pengetahuan, dan masalah nilai. Tiga
masalah utama dalam filsafat yaitu, ontology, efistemology, dan eksiologi.
A.
Ontology
Ø Pengertian
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal
dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret.
Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti
Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan
antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filosof yang pernah
sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan
asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa
mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga
sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos.
Ontos berarti sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah
bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang
ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada
manusia, ada alam, dan ada kuasa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh,
teratur, dan tertib dalam keharmonisan.[3]
Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat
yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat
dijangkau panca indera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi.
Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu
yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata. Pengertian ini
didukung pula oleh pernyataan Runes bahwa“ontology
is the theory of being qua being ”,
artinya ontologi adalah teori tentang wujud.
Obyek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran
studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah
ontologi banyak digunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat
ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu
perwujudan tertentu. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap
kenyataan. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa obyek formal
dari ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Hal senada juga dilontarkan oleh
Jujun Suriasumantri, bahwa ontologi membahas apa yang ingin diketahui atau
dengan kata lain merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang ada.[4]
Ø Beberapa Konsep
Mengenai Ontologi Ilmu
Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda
bertugas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas
benda itu? Apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori
hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa aliran dalam filsafat,
antara lain:
·
Filsafat
Materialisme
·
Filsafat
Idealisme
·
Filsafat
Dualisme
·
Filsafat
Skeptisisme
·
Filsafat
Agnostisisme
pokok permasalahan yang menjadi obyek kajian filsafat
mencakup tiga segi, yaitu :
·
Logika (Benar-
Salah)
·
Etika
(Baik-Buruk)
·
Estetika
(Indah-Jelek).
Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM)
dengan teori ideanya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata ini mesti
ada ideanya. Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep
universal dari tiap sesuatu. Plato mencontohkan pada seekor kuda, bahwa kuda
mempunyai idea atau konsep universal yang berlaku untuk tiap-tiap kuda yang ada
di alam nyata ini, baik itu kuda yang berwarna hitam, putih ataupun belang,
baik yang hidup ataupun sudah mati. Idea kuda itu adalah faham, gambaran atau
konsep universal yang berlaku untuk seluruh kuda yang berada di benua manapun
di dunia ini. Demikian pula manusia punya idea. Idea manusia menurut Plato
adalah badan hidup yang kita kenal dan bisa berpikir. Dengan kata lain, idea
manusia adalah ”binatang berpikir”. Konsep binatang berpikir ini bersifat
universal, berlaku untuk seluruh manusia besar-kecil, tua-muda,
lelaki-perempuan, manusia Eropa, Asia, India, China, dan sebagainya.
Tiap-tiap sesuatu di alam ini mempunyai idea. Idea inilah yang merupakan
hakikat sesuatu dan menjadi dasar wujud sesuatu itu. Idea- idea itu berada
dibalik yang nyata dan idea itulah yang abadi. Benda-benda yang kita lihat atau
yang dapat ditangkap dengan panca indera senantiasa berubah. karena itu, ia
bukanlah hakikat, tetapi hanya bayangan. Dengan kata lain, benda-benda yang
dapat ditangkap dengan panca indera ini hanyalah khayal dan illusi belaka.
Argumen ontologis kedua dimajukan oleh St. Augustine (354– 430 M). Menurut
Augustine, manusia mengetahui dari pengalaman hidupnya bahwa dalam alam ini ada
kebenaran. Namun, akal manusia terkadang merasa bahwa ia mengetahui apa yang
benar, tetapi terkadang pula merasa ragu-ragu bahwa apa yang diketahuinya itu
adalah suatu kebenaran. Menurutnya, akal manusia mengetahui bahwa di atasnya
masih ada suatu kebenaran tetap (kebenaran yang tidak berubah-ubah), dan itulah
yang menjadi sumber dan cahaya bagi akal dalam usahanya mengetahui apa yang
benar. Kebenaran tetap dan kekal itulah kebenaran yang mutlak. Kebenaran mutlak
inilah oleh Augustine disebut Tuhan. Ontologi
ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang
dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi,
sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya).
Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda
bertugas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas
benda itu? apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori
hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa aliran dalam persoalan keberadaan,
yaitu:
1.
Keberadaan
dipandang dari segi jumlah (kuantitas), menimbulkan beberapa akiran, yaitu :
Ø Monisme, aliran
yang menyatakan bahwa hanya satu keadaan fundamental. Kenyataan tersebut dapat
berupa jiwa, materi, Tuhan atau substansi lainnya yang tidak dapat diketahui.
Ø Dualisme (serba
dua), aliran yang menganggap adanya dua substansi yang masing-masing berdiri
sendiri. Misal dunia indera (dunia bayang-bayang) dan dunia intelek (dunia
ide).
Ø Pluralisme
(serba banyak), aliran yang tidak mengakui adanya sesuatu substansi atau dua
substansi melainkan banyak substansi, misalnya hakikat kenyataan terdiri dari
empat unsur yaitu udara, api, air dan tanah
2.
Keberadaan
dipandang dari segi sifat, menimbulkan beberapa aliran, yaitu:
Ø Spiritualisme,
mengandung arti ajaran yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah roh
yaitu roh yang mengisi dan mendasari seluruh alam.
Ø Materialisme,
adalah pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada hal yang nyata kecuali materi.
3.
Keberadaan
dipandang dari segi proses, kejadian, atau perubahan
Ø Mekanisme
(serba mesin), menyatakan bahwa semua gejala atau peristiwa dapat dijelaskan
berdasarkan asas mekanik (mesin).
Ø Teleologi
(serba tujuan), berpendirian bahwa yang berlaku dalam kejadian alam bukanlah
kaidah sebab akibat tetapi sejak semula memang ada sesuatu kemauan atau
kekuatan yang mengarahkan alam ke suatu tujuan.
Ø Vitalisme,
memandang bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara fisika,
kimia, karena hakikatnya berbeda dengan yang tak hidup.
Ø Organisisme
(lawannya mekanisme dan vitalisme). Menurut organisisme, hidup adalah suatu
struktur yang dinamik, suatu kebulatan yang memiliki bagian-bagian yang
heterogen, akan tetapi yang utama adalah adanya sistem yang teratur.
B.
Epistemologi
1.
Pengertian
Epistemologi
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani kuno, dengan asal kata
“episteme” yang berarti pengetahuan dan “logos” yang berarti teori’. Secara
etimologi, epistemologi berarti teori pengetahuan. Epistemologi atau teori
pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan ruang
linkup pengetahuan, tentang asal, struktur, metode serta keabsahan pengetahuan.[5]
Mula-mula manusia percaya bahwa dengan kekuasaan pengenalannya ia dapat
mencapai realitas sebagaimana adanya para filosof pra Sokrates, yaitu filosof
pertama di alam tradisi Barat, tidak memberikan perhatian pada cabang filsafat
ini sebab mereka memusatkan perhatian, terutama pada alam dan kemungkinan
perubahan, sehingga mereka kerap dijuluki filosof alam.
Epistomologi mengkaji mengenai apa sesungguhnya ilmu, dari mana sumber ilmu,
serta bagaimana proses terjadinya. Dengan menyederhanakan batasan tersebut,
Brameld mendefinisikan epistomologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi
guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya”.[6]
Disamping itu banyak sumber yang mendefinisikan pengertian Epistomologi
diantarannya:
»
Epistemologi
adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang
mengitari teori ilmu pengetahuan.
»
Epistomologi
adalah pengetahuan sistematis yang membahas tentang
terjadinnya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula
pengetahuan,
metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan
kebenaran
pengetahuan (Ilmiah).
»
Epistomologi
adalah cabang atau bagian filsafat yang membicarakan tentang
pengetahuan yaitu tentang terjadinnya pengetahuan dan
kesahihan atau
kebenaran pengetahuan.
»
Epistomologi
adalah cara bagaimana mendapatkan pengetahuan, sumber-
sumber pengetahuan, ruang lingkup pengetahuan.
Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan- kepentingan
yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti :
·
Dari manakah
saya berasal?
·
Bagaimana
terjadinya proses penciptaan alam?
·
Apa hakikat
manusia?
·
Apa faktor
kesempurnaan jiwa manusia?
·
Mana
pemerintahan yang benar dan adil?
·
Mengapa
keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih?
·
Apakah bumi
mengelilingi matahari atau sebaliknya?
Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin
tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas
permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya. Pada
dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu
yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa:
»
Hakikat itu ada
dan nyata;
»
kita bisa
mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;
»
hakikat itu
bisa dicapai, diketahui, dan dipahami;
»
manusia bisa
memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu. Akal dan pikiran
manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya, dan jalan menuju
ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi manusia.
Dibawah ini ada beberapa metode agar dapat memperoleh
pengetahuan :
1.
Metode Empiris
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara
memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania,
mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan
yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat
pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita
diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang
diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana
tersebut.
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima
hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun
rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi
yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun
objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali
secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah
pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
2.
Metode
Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan
karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman
paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut
rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita,
dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna
mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran
hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal
budi saja.
3.
Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang
pengalaman. Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri
merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk
pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu
kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti
keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada
kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon). Bagi Kant para penganut
empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada
pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut
rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri
terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
4.
Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung
dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dari dalam dirinya
sendiri pada saat iya menghayati sesuatu. Pengetahuan intuitif muncul secara
tiba-tiba dalam kesadaran manusia. Mengenai proses terjadinya, manusia itu
sendiri tidak menyadarinya. Pengetahuan ini sendiri hasil penghayatan pribadi
sebagai hasil ekpresi keunikan dan individualitas seseorang.
Dalam pengertian secara umum, intuisi merupakan metode untuk memperoleh
pengetahuan tidak berdasarkan pengalaman rasio, dan pengamatan indra. Dalam
filsafat paham ini bertujuan agar manusia dapat memperoleh kebenaran yang
hakiki. Menurut kaum intuisionisme, dengan intuisi kita akan mengetahui dan
menyadari diri kita sendiri, mengetahui karakter perasaan orang lain dan motif
orang lain.[7]
5.
Metode
Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan manusia untuk memperoleh
pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkanpun akan berbeda-beda seharusnya
dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang
lewat ini bisa diperoleh dengan cara seperti yang dilakukan Imam Al-Ghazali.
intuisi dalam tasawuf disebut dengan ma'rifah yaitu pengetahuan yang datang
dari Tuhan melalui pencerahan dan penyiaran Al-Ghazali menerangkan bahwa
pengetahuan intuisi atau malimpah yang disinarkan oleh Allah secara langsung
merupakan pengetahuan yang paling benar. Pengetahuan yang diperoleh lewat
intuisi ini hanya bersifat individual dan tidak bisa dipergunakan untuk mencari
keuntungan seperti ilmu pengetahuan yang dewasa ini bila dikomersilkan.[8]
6.
Metode
Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai
kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato
mengartikannya diskusi logika. Kini dialekta berarti tahap logika, yang
mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik
tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam metode peraturan, juga
analisis sistematika tentang ide mencapai apa yang terkandung dalam
pandangannya.
Dalam kehidupan sehari-hari diaektika berarti kecakapan untuk melakukan
perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak terasa
dan satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan. Berdebat
paling kurang dua pendapat. Hegel menggunakan metode dialektis untuk
menjelaskan filsafatnya, lebih luas dari itu. Menurut Hegel dalam realitas ini
berlangsung dialektika.
Ada juga beberapa teori yang dapat dijadikan acuan apakah pengetahuan itu benar
atau salah, yaitu :
1.
Teori
Korespodensi
Menurut teori ini kebenaran merupakan persesuaian antara fakta dan situasi
nyata. Kebenaran merupakan persesuaian antara pernyataan dan pemikiran sengan
situasi lingkungannya.
2.
Teori koherensi
Menurut teori ini kebenaran bukan persesuaian antara pemikiran dan kenyataan
melainkan persesuaian secara harmonis antara pendapat/pikiran kita dengan pengetahuan
yang telah kita miliki.
Jenis–jenis pengetahuan dapat dibedakan menjadi tiga (3), yaitu :
·
Filsafat
Sering dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu. Pernyataan ini tidak
salah karena ilmu-ilmu yang ada sekarang, baik ilmu alam maupun ilmu
sosial, mulanya berada dalam kajian filsafat. Pada zaman dulu tidak
dibedakan antara ilmuwan dengan filosof. Isaac Newton (1642-1627) menulis
hukum-hukum fisikanya dalam buku yang berjudul Philosophie Naturalis
Principia Mathematica (terbit 1686). Adam Smith (1723-1790) bapak ilmu
ekonomi menulis buku The Wealth of Nations (1776) dalam kapasitasnya sebagai
Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow. Kita juga mengenal
Ibnu Sina (w.1037) sebagai bapak kedokteran yang menyusun ensiklopedi besar al-Qanun
fi al-Thibb sekaligus sebagai filosof yang mengarang Kitab al-Syifa’.
Definisi filsafat tidak akan diberikan karena para ahli sendiri berbeda-beda
dalam merumuskannya. Cukup di sini disinggung mengenai ciri-ciri dari filsafat,
sebagaimana diuraikan Suriasumantri (1998), yaitu menyeluruh (membahas
segala hal atau satu hal dalam kaitannya dengan hal-hal lain), radikal (meneliti
sesuatu secara mendalam, mendasar hingga ke akar-akarnya), dan spekulatif (memulai
penyelidikannya dari titik yang ditentukan begitu saja secara apriori).
Spekulatif juga bermakna rasional.
Objek kajian filsafat sangat luas, bahkan boleh dikatakan tak terbatas.
Filsafat memelajari segala realitas yang ada dan mungkin ada; lebih luas lagi,
segala hal yang mungkin dipikirkan oleh akal. Sejauh ini, terdapat tiga
realitas besar yang dikaji filsafat, yakni Tuhan (metakosmos), manusia (mikrokosmos),
dan alam (makrokosmos). Sebagian objek filsafat telah diambil-alih oleh
sains, yakni objek-objek yang bersifat empiris.
·
Agama
Agama kerap “berebutan” lahan dengan filsafat. Objek agama dalam banyak hal
hampir sama dengan filsafat, hanya lebih sempit dan lebih praktis. Seperti
filsafat, agama juga membahas Tuhan, manusia, dan alam. Seperti filsafat, agama
juga menyoal metafisika, namun jawabannya sudah jelas: hakikat segala sesuatu
adalah Tuhan. Selain Tuhan, objek pokok dari agama adalah etika khususnya yang
bersifat praktis sehari-hari.
Yang membedakan agama dari filsafat terutama adalah epistemologi atau
metodenya. Pengetahuan agama berasal dari wahyu Tuhan yang diberikan kepada
Nabi, dan kita memerolehnya dengan jalan percaya bahwa Nabi benar. Pada agama,
yang harus kita lakukan adalah beriman, baru berpikir. Kita boleh memertanyakan
kebenaran agama, setelah menerima dan memercayainya, dengan cara lain (rasional
atau empiris). Tapi ujung-ujungnya kita tetap harus percaya meskipun apa yang
disampaikan agama itu tidak masuk akal atau tidak terbukti dalam kenyataan.
Jawaban yang diberikan agama atas satu masalah bisa sama, berbeda, atau
bertentangan dengan jawaban filsafat. Dalam hal ini, latar belakang
keberagamaan seorang filosof sangat memengaruhi. Jika ia beragama, biasanya ia
cenderung mendamaikan agama dengan filsafat, seperti tampak pada filsafat
skolastik, baik filsafat Yahudi, Kristen, maupun Islam. Jika ia tidak beragama,
biasanya filsafatnya berbeda atau bertentangan dengan agama.
Secara praktis, agama sangat fungsional dalam kehidupan manusia. Fungsi utama
agama adalah sebagai sumber nilai (moral) untuk dijadikan pegangan dalam hidup
budaya manusia. Agama juga memberikan orientasi atau arah dari tindakan
manusia. Orientasi itu memberikan makna dan menjauhkan manusia dari kehidupan
yang sia-sia. Nilai, orientasi, dan makna itu terutama bersumber dari
kepercayaan akan adanya Tuhan dan kehidupan setelah mati. (Coba perhatikan,
dalam Alquran, objek iman yang paling banyak disebut bahkan selalu disebut
beriringan adalah iman kepada Allah dan hari kemudian).
·
Sains
Sains (dalam bahasa Indonesia disebut juga ilmu, ilmu pengetahuan, atau
pengetahuan ilmiah) adalah pengetahuan yang tertata (any organized knowledge)
secara sistematis dan diperoleh melalui metode ilmiah (scientific method).
Sains memelajari segala sesuatu sepanjang masih berada dalam lingkup pengalaman
empiris manusia. Objek sains terbagi dua, objek material dan objek formal.
Objek material terbatas jumlahnya dan satu atau lebih sains bisa memiliki objek
material yang sama. Sains dibedakan satu sama lain berdasarkan objek formalnya.
Sosiologi dan antropologi memiliki objek material yang sama, yakni masyarakat.
Namun objek formalnya beda. Sosiologi memelajari struktur dan dinamika
masyarakat, antropologi memelajari masyarakat dalam budaya tertentu.
Sains atau ilmu dibedakan secara garis besar menjadi dua kelompok, yaitu ilmu-ilmu
alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences).
Ilmu-ilmu alam memelajari benda-benda fisik, dan secara garis besar dibedakan
lagi menjadi dua, yaitu ilmu alam (fisika, kimia, astronomi, geologi, dll) dan
ilmu hayat (biologi, anatomi, botani, zoologi, dll). Tiap-tiap cabang ilmu itu
bercabang-cabang lagi menjadi banyak sekali.
Sains diperoleh melalui metode sains (scientific method) atau biasa
diterjemahkan menjadi metode ilmiah. Metode ini menggabungkan keunggulan rasionalisme
dan empirisisme, kekuatan logika deduksi dan induksi, serta mencakup teori
kebenaran korespondensi, koherensi, dan pragmatik. Karena penggabungan ini,
sains memenuhi sifat rasional sekaligus empiris. Sains juga bersifat sistematis
karena disusun dan diperoleh lewat suatu metode yang jelas. Bagi kaum
positivis, sains juga bersifat objektif, artinya berlaku di semua tempat dan
bagi setiap pengamat. Namun sejak munculnya teori relativitas Einstein, apalagi
pada masa postmodern ini, klaim objektivitas sains tidak bisa lagi
dipertahankan.secara ringkas, metode ilmiah disusun menurut urutan sebagai
berikut:
- Menemukan
dan merumuskan masalah
- Menyusun
kerangka teoritis
- Membuat
hipotesis
- Menguji
hipotesis dengan percobaan (observasi, eksperimen, dll).
- Menarik
kesimpulan.
Kesimpulan yang diperoleh itu disebut teori. Untuk
benar-benar dianggap sahih dan bisa bertahan, sebuah teori harus diuji lagi
berkali-kali dalam serangkaian percobaan, baik oleh penemunya maupun oleh
ilmuwan lain. Pengujian ini disebut verifikasi (pembuktian benar).
Sebuah teori bisa juga diuji dengan cara sebaliknya, yaitu sebagaimana
diusulkan Karl Popper, falsifikasi (pembuktian salah). Dengan
falsifikasi, jika untuk sebuah teori dilakukan 1000 percobaan, 1 saja dari 1000
percobaan itu menunjukkan adanya kesalahan, maka teori itu tidak perlu
dipertahankan lagi. Contoh, jika dinyatakan kepada kita bahwa semua burung
gagak hitam, dan di suatu tempat kita menemukan satu burung gagak yang tidak
hitam, berarti pernyataan itu salah.
Pengetahuan yang diperoleh lewat metode sains bukanlah terutama untuk
pengetahuan itu sendiri, melainkan sebagai alat untuk membantu manusia dalam
memecahkan masalah sehari-hari. Kegunaan ini diperoleh dengan tiga cara, description
(menjelaskan), prediction (meramal, memerkirakan), dan controling
(mengontrol). Penjelasan diperoleh dari teori. Dihadapkan pada masalah praktis,
teori akan memerkirakan apa yang akan terjadi. Dari perkiraan itu, kita
memersiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengontrol segala hal
yang mungkin timbul, entah itu merugikan atau menguntungkan.
C.
Aksiologi
Ø Pengertian
Secara etimologis, istilah eksiologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, terdiri
dari kata “aksios” yang berarti nilai dan “logos” yang berarti teori. Jadi,
aksiologi merupakan cabang dari filsafat yang mempelajari nilai. Aksiologi
mempelajari tentang hakikat nilai. Dalam hal ini aksiologi berkaitan dengan
kebaikan dan keindahan tentang nilai dan penilaian. Hal ini merupakan bidang
kajian tentang dari mana sumber nilai, akar dan norma serta nilai subsransif
dan standar nilai. Etika berkaitan dengan kualitas, moralitas pribadi dan
perilaku sosial. Drmikian pula etika merupakan penentuan perilaku yang baik,
masyarakat yang baik dan kehidupan yang baik.[9]
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi
reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Ilmu bukan lagi merupakan sarana
yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan
mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu
bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya,
namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam
sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya:
·
untuk apa
sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan?
·
Dimana batas
wewenang penjelajahan keilmuan?
·
Ke arah mana
perkembangan keilmuan harus diarahkan?
·
Apakah ilmu itu
bermanfaat bagi manusia itu sendiri?
Pertanyaan semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti
Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup
dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup
dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak
dapat di elakkan. Dan untuk menjawab pertanyaan ini maka ilmuan berpaling
kepada hakikat moral.
Dasar aksiologis ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari
pengetahuan yang didapatkanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah
memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan
kekuatan-kekuatan alam. Dangan mempelajari atom kita dapat memanfaatkan untuk
sumber energi bagi keselamatan manusa, tetapi hal ini juga dapat menimbulkan
malapetaka bagi manusia. Penciptaan bom atom akan meningkatkan kualitas
persenjataan dalam perang, sehingga jika senjata itu dipergunakan akan
mengancam keselamatan umat manusia.[10]
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah
moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543)
mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang
berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang
dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral
(yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik
ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat
keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang
terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama.
Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang
berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo
(1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut
pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan
nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah
menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah
tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan
kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat
melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa
manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses
rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,”
kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu
menemukannya.”[11]
Ø Hakikat dan
Makna Nilai
Pertanyaan mengenai hakikat nilai dapat dijawab dengan
tiga macam cara:
»
Nilai
sepenuhnya berhakikat subjektif . Ditinjau dari sudut pandangan ini,
nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku
dan keberadaannya tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka. Yang demikian
ini dapat dinamakan “subjektivitas”.
»
Nilai merupakan
kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat
dalam ruang dan waktu . Nilai-nilai tersebut merupakan
esensi-esensi logis dan dapat diketahui melaui akal. Pendirian ini dinamakan
“obyektivitas logis”.
»
Nilai merupakan
unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan Pendirian ini disebut
“obyektivitas metafisik”.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa “nilai” memiliki bermacam makna,
diantaranya:
»
Mengandung
nilai (artinya berguna)
»
Merupakan nilai
(artinya “baik” atau “benar” atau “indah”)
»
Mempunyai nilai
(artinya, merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan
orang mengambil sikap “menyetujui”, atau
»
mempunyai sifat
nilai tertentu)
»
Memberi nilai
(artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau
sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu).
Ø Kegunaan dan
Nilai Ilmu
Kegunaan ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa
merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. Tiap ilmu terutama
dalam implementasinya selalu terkait dengan aksiologinya. Dalam hal ini akan
dijelaskan seberapa jauh ilmu mempunyai peranan dalam membatu mencapai
kehidupan manusia yang sejahtera di dunia ini atau apakah manfaat ilmu bagi
kehidupan manusia di dunia ini. Manusia belajar dari pengalamannya dan
berasumsi bahwa alam mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturannya. Ilmu merupakan
hasil kebudayaan manusia, dimana lebih mengutamakan kuantitas yang obyektif dan
mengesampingkan kualitas subjektif yang berhubungan dengan keinginan pribadi
sehingga dengan ilmu, manusia tidak akan mementingkan dirinya sendiri.
Ilmu merupakan wahana dalam menjawab semua permasalahan (sampai batas
tertentu), berdasarkan pemahaman yang dimiliki sekaligus ilmu mampu
memprediksikan masa depan walaupun banyak hal yang kadang terjadi di luar
dugaan. Peradaban manusia sekarang ini tak lepas dari perkembangan ilmu dan
teknologi. Berkat kemajuan ilmu dan teknologi, pemenuhan kebutuhan manusia bisa
dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah di samping penciptaan kemudahan
dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan
komunikasi.
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang aksiologi ini adalah
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu
itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?13 Oleh
karena itu, pada tingkat aksiologis, pemahaman tentang nilai-nilai adalah hal
yang mutlak. Nilai menyangkut etika, moral, dan tanggung jawab manusia itu
sendiri. Oleh karena dalam penerapannya ilmu pengetahuan juga mempunyai efek
negatif dan desktruktif, maka diperlukan aturan nilai dan norma untuk
mengendalikan potensi nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan
ilmu pengetahuan. Di sininlah etika menjadi ketentuan mutlak yang akan menjadi
penyemangat yang baik bagi pengetahuan untuk meningkatkan derajat hidup serta
kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Etika adalah pembahasan mengenai baik,
buruk, semestinya, benar atau salah. Hal ini bertalian dengan hati nurani,
bernaung di bawah filsafat moral. Etika merupakan tatanan konsep yang
melahirkan kewajiban, dengan asumsi bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan akan
mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia.
BAB III
ANALISIS
ANALISIS
Dari pembahasan
di atas yang dapat kami simpulkan :
1.
Ontologis;
cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana wujud yang
hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya
tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan
pengetahuan.
2.
Epistemologi
berusaha menjawab bagaimana proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan
yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan
agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu
sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
3.
Aksiologi
menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana
penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana
kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma moral?
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan
di atas dapat di tarik kesimpulan :
Ontologi membahas tentang apa yang diketahui oleh manusia. Karena tak mungkin
yang tiada memberikan efek pada pikiran manusia, maka pasti yang tercermin
dalam pikiran manusia adalah suatu realitas. Realitas (kenyataan) adalah segala
sesuatu yang ada. Untuk memudahkan pemahaman manusia, kenyataan diidentifikasi
menjadi dua hal yaitu kenyataan yang bisa diukur oleh manusia dan yang tidak
bisa diukur oleh manusia. Yang bisa diukur secara kuantitatif oleh manusia
disebut sebagai kenyataan materi, sedangkan kenyataan yang tidak bisa diukur
secara kuantitatif manusia disebut sebagai kenyataan nonmateri. Dengan kata
lain materi adalah kenyataan yang bisa diindera dan nonmateri adalah
sebaliknya. Realitas materi mempunyai banyak ciri-ciri yaitu;
Ø terbatas ruang
dan waktu;
Ø dapat dibagi;
Ø tersusun oleh
sesuatu yang lain;
Ø memiliki ukuran
kuantitatif (dapat diukur secara kuantitatif).
Contoh dari realitas materi adalah kursi, mobil, pesawat, darah, atom dan lain
sebagainya. Realitas non-materi mempunyai ciri kebalikan dari materi. Contoh
dari realitas nonmateri adalah akal, jiwa, pikiran
dll.
Epistemologi membahas tentang bagaimana seorang manusia mendapatkan
pengetahuan. Pentingnya pembahasan ini berkaitan dengan apakah suatu ilmu
apakah ia diperoleh dengan cara yang bisa didapatkan orang lain atau tidak.
Jika tidak dapat diketahui orang lain maka pengetahuannya tidak dapat
dipelajari oleh orang lain. Secara garis besar, dalam epistemologi cara
mendapatkan pengetahuan ada dua yaitu secara ilmiah dan secara tidak ilmiah.
Pengetahuan secara ilmiah bukan berarti lebih benar dari pengetahuan secara
tidak ilmiah.
Pembagian ini hanya didasarkan pada dapat atau tidaknya semua orang memperoleh
pengetahuan tersebut. Pengetahuan secara ilmiah didapat melalui dua hal yaitu
secara rasional dan secara empiris. Pengetahuan secara rasional berkaitan dengan
cara mendapatkan pengetahuan berdasarkan kaidah-kaidah berpikir. Adapun
pengetahuan secara empiris berkaitan dengan apakah suatu pengetahuan sesuai
dengan kenyataan empirik. Semua manusia dapat melakukan kedua hal tersebut
karena semua manusia memiliki potensi akal sekaligus potensi inderawi. Potensi
akal manusia mutlak sama, sedangkan potensi inderawi manusia tidak mutlak sama
tetapi mempunyai kemiripan yang erat. Pengetahuan yang didapatkan secara tidak
ilmiah bisa terjadi dengan berbagai cara seperti melalui wahyu, intuisi,
perasaan dan informasi dari orang yang dipercaya.
Pengetahuan yang didapatkan dengan cara ini tidak dapat dipelajari oleh semua
orang. Ia membutuhkan kebenaran ilmiah untuk meyakinkan orang- orang yang tidak
mengalami hal yang sama dengan orang yang mempercayainya. Aksiologi membahas
tentang nilai suatu pengetahuan. Nilai dari sesuatu tergantung pada tujuannya.
Maka pembahasan tentang nilai pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari
tujuannya. Masing-masing manusia memang mempunyai tujuan sendiri. Namun pasti
ada kesamaan tujuan secara obyektif bagi semua manusia.
Pembahasan tentang aksiologi begitu penting karena jika pengetahuan yang
didapatkan manusia tidak dapat dipastikan atau dimutlakkan kebenarannya, maka bagaimana
mungkin manusia dapat menyusun sebuah ilmu. Bagaimana pula manusia akan
menentukan pilihan jika antara satu pilihan dengan pilihan lain bernilai sama,
yaitu relatif. Pengertian relatif adalah jika sesuatu memiliki nilai yang
berubah-ubah jika dibandingkan dengan sesuatu yang berbeda-beda. Misalnya 5
meter akan relatif panjang jika dibandingkan dengan 1 meter dan juga relatif
pendek jika dibandingkan dengan 10 meter. Ketika manusia berpikir, maka
pembanding dari pikiran tidak berubah-ubah yaitu kenyataan itu sendiri.
Sehingga suatu pengetahuan hanya akan dihukumi dengan nilai benar atau salah.
Jika suatu pengetahuan sesuai dengan realitasnya maka pengetahuan tersebut
benar, begitu juga sebaliknya. Pembandingan kebenaran suatu pengetahuan dengan
pengetahuan lain yang berbeda-beda akan bernilai relatif.
B.
Saran
Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita
semua umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah, dan yang buruk
datangnya dari kami. Dan kami sedar bahwa makalah kami ini jauh dari kata
sempurna, masih banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harafkan saran
dan kritik nya yang bersifat membangun, untuk perbaikan makalah-makalah
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir. (2001). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset.
2.
Drs. Usiono,MA,
Aaliran-aliran Filsafat Pendidikan,2006. Penerbit Perdana Publishing.
Jakarta.
3.
Suparlan
Suhartono. Filsafat Pendidikan 2007. Yogyakarta: Kelompok Penerbit Ar-
Ruzz Media. Hal 44
4.
Jujun S.
Suriasumantri.2003.Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
5.
Drs.
Usiono,M.A, Pengantar Filsafat Pendidikan ,2006. Hijri Pustaka Utama
Jakarta.
6.
Mohammad Noor
Syam. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan. Pancasila Usaha
Nasional Surabaya.
7.
Tim Dosen
Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM.Filsafat Ilmu 2000. Penerbit
Liberty Yogyakarta.
[1] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir. Filsafat
Ilmu 2001. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Hal 49-50
[2] Drs. Usiono,MA, Aaliran-aliran
Filsafat Pendidikan,2006. Penerbit Perdana Publishing. Jakarta. Hal : 53
[3] Suparlan Suhartono. Filsafat Pendidikan 2007.
Yogyakarta: Kelompok Penerbit Ar- Ruzz Media. Hal 44
[4] Jujun S. Suriasumantri.2003.Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.Hal 34-35
[6] Mohammad Noor Syam. Filsafat Pendidikan dan Dasar
Filsafat Pendidikan. Pancasila Usaha Nasional Surabaya. Hal 32
[7] Drs. Usiono,MA, Aliran-aliran
Filsafat Pendidikan,2006. Penerbit Perdana Publishing. Jakarta. Hal 57
[10] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM.Filsafat
Ilmu 2000. Penerbit Liberty Yogyakarta.hal 91
[11] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996,
hal. 34-35.
No comments:
Post a Comment